Masalah makan dan makanan telah banyak
diatur dalam Bhagavad-gita dan Bhagavata purana. Personalitas Tertinggi
Tuhan hanya mau menerima persembahan berupa buah, air, daun, dan bunga dengan
tulus iklhas, bahkan makanan yang sudah di persembahkan kepadaNya, maka makanan
tersebut akan disucikan. Tetapi bila makanan tidak dipersembahkan lebih dahulu
maka dianggap sebagai pencuri atau makan dosa. Masih dalam Bhagavadgita, makanan dibagi menjadi 3 kategori; makanan yang satvik, makanan rajasik dan makanan yang tamasika.
Jadi soal makanan dan makan telah diatur dan itu merupakan yajna. Kenapa tidak diperkenankan memakan daging? Hal ini jelas
untuk mendapatkan daging kita mesti melakukan pembunuhan terhadap mahluk hidup
lain, demikian juga dalam kitab suci agama lain, pembunuhan merupakan larangan
keras. Karena semua mahluk hidup adalah saudara-saudara umat manusia juga. Sri
Krishna dalam Bhagavad-gita menyatakan
” …….. Akulah ayah yang memberikan benih kepada semua mahluk hidup….” Karena karma dan pengaruh sifat alam (tri guna) yang berbeda maka ia
menperoleh badan hewan, padahal sang roh yang ada di dalamnya adalah sama
dengan sang roh dalam diri kita. Semua mahluk hidup berasal dari sumber yang
sama, seperti dalam Bhagavad-gita
15.7
mamaivamso
jiva-loke jiva-bhutah sanatanah
manah-sasthanindriyani
prakrti sthani karsati
”Mahluk-mahluk di dunia yang
terikat ini adalah bagian percikan yang kekal dariKu, mereka berjuang keras
melawan 6 indria termasuk pikiran.”
Orang hendaknya memperlakukan semua hewan
binatang seperti kijang, kera, tikus, ular, burung-burung dan lalat dengan
benar bagaikan putra sendiri. Betapa kecil sesungguhnya perbedaan antara
anak-anak dengan binatang yang tidak berdosa ini. (Bhagavata Purana 7.14.9)
Seseorang yang mengaku beragama hendaknya
memahami filsafat dasar tersebut, oleh karena itu haruslah menghormati setiap
kehidupan apapun, karena mahluk hidup juga mendapatkan kesempatan untuk
melakukan perjalanan spiritualnya. Bila mahluk hidup mati dengan alamiah maka
ia akan mendapatkan badan material yang lebih tinggi tingkat kesadarannya. Bila
mati oleh karena dibunuh, disembelih maka ia akan kembali menjalani kehidupan
seperti semula. Itulah ajaran dharma
yang sejati.
Dengan tidak melakukan pembunuhan terhadap
hewan berarti kita sebenarnya telah melaksanakan atau menegakkan prinsip
dharma. Di zaman Satya-yuga, ada 4 prinsip dharma masih tetap tegak dalam Bhagavata purana dinyatakan : ”tapah saucam daya satyam iti padah krte
krtah…..” – ada empat tiang dharma
yang menyangga tetap berdiri tegaknya dharma pada zaman Satya Yuga, zaman
keemasan, tiang dimaksud adalah 1. Tapah
(pertapaan), 2. Saucam (kebersihan,
kesucian), 3. Daya (karunia,
cinta kasih), 4. Satyam
(kejujuran, kebenaran). Namun di zaman sekaran prinsip dharma itu telah
dirongrong oleh 4 prinsip adharma,
tiang penyangga dharma tersebut sudah
roboh akibat dirongrong oleh tindakan adharma.
1. Dyutam (berjudi): kegiatan ini akan menghancurkan satya
(kejujuran). Kegiatan main judi menghancurkan kejujuran di dalam hati orang. Dyuta artinya tipuan. Dalam permainan
judi tidak ada kejujuran. Pemain judi selalu berusaha mencari kesempatan untuk
saling menipu.
2. Panam (mabuk minuman keras): kegiatan ini menghancurkan sifat tapah (pertapaan, pengendalian diri).
Jika orang mengebangkan kebiasaan mabuk-mabukan, pastilah tiang Dharma yang amat penting yaitu pertapaan
atau pengendalian diri akan roboh.
3. Striyah (berzinah): kegiatan ini akan menghancurkan saucam (kesucian badan). Tidak akan
ditemui kesucian di dalam hati orang yang melakukan hubungan kelamin tidak sah.
Di samping itu, bukan cerita baru lagi bahwa penyakit kotor yang berkembang
dewasa ini yang pengobatannya belum ditemukan bisa berjangkit terhadap yang
bersangkutan.
4. Suna (membunuh binatang): kegiatan ini menghancurkan daya
(cinta kasih, sifat welas asih). Resi Canaknya mengatakan bahwa sangat sulit
menemukan cinta kasih di damal hati para pemakan daging. Tanpa karunia dan
cinta kasih orang sulit mengembangkan hubungan, bukan hanya di masyarakat
tetapi juga sulit mengembangkan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran Veda sangat menekankan
pentingnya pengaturan jenis makanan. Sebab, makanan amat mempengaruhi sifat dan
kesadaran orang. Jaisa anna vaisa mana, bagaimana makanan begitulah pikiran.
Atau orang Barat mengatakan “You are what you eat”, Anda adalah apa yang Anda
makan. Dalam Bhagavad-gita, makanan dikelompokkan berdasarkan perbedaan
kesenangan orang, yaitu ada makanan jenis kebaikan (sattvam), makanan jenis
kenafsuan (rajas) dan makanan jenis kegelapan atau kebodohan (tamas).
Disebutkan bahwa makanan yang disukai oleh orang-orang yang mantap di dalam
sifat kebaikan (sattvam) adalah makanan yang memperpanjang usia hidup,
menyucikan kehidupan dan memberikan kekuatan, kesehatan, kebahagiaan dan
kepuasan. Makanan tersebut penuh sari, mengandung lemak yang cukup bergizi dan
menyenangkan hati. Makanan yang disukai oleh orang-orang di dalam sifat nafsu
(Rajas) adalah makanan yang terlalu pahit, terlalu asam, terlalu asin, panas
sekali atau menyebabkan badan menjadi panas sekali, terlalu pedas, terlalu
kering dan berisi terlalu banyak bumbu yang keras. Makanan seperti itu
menyebabkan duka cita, kesengsaraan dan penyakit. Makanan yang disukai oleh
orang-orang yang berada dalam sifat kegelapan (Tamas) adalah makanan yang
disimpan terlalu lama. Makanan yang hambar, basi dan busuk, dan makanan terdiri
dari sisa makanan orang lain dan bahan-bahan yang tidak dibenarkan.
Tidak mengkonsumsi daging termasuk
pengendalian diri, mengendalikan lidah, demikian juga melakukan puasa (upawasa), rasa kasih sayang terhadap
semua mahluk, dengan tidak melakukan kekerasan terhadap semua mahluk, itulah
prinsip sehat spiritual secara universal hal ini akan mempengaruhi sehat
jasmani dan sehat mental.
Dalam ajaran Veda (Sanatana Dharma)
tersurat banyak sekali perintah-perintah Tuhan dalam Purana dan Upanisad. Bhagawad-gita (5.8), Krishna menjelaskan
bahwa kesempurnaan spiritual mulai ketika seseorang dapat melihat kesamaan
semua mahluk hidup, “Orang bijaksana yang rendah hati, dengan pengetahuan yang
murni, melihat dengan pandangan yang sama seorang brahmana yang terpelajar,
seekor lembu, seekor gajah, seekor anjing, dan pemakan anjing”. Dengan demikian
seseorang tidak seharusnya membunuh mahluk hidup lainnya demi kepuasan indria
belaka. Landasan moral dan sastra Veda
tentang vegetarian bahwa semua mahluk dialam semesta ini adalah merupakan
percikan kekal dari Tuhan, bersifat abadi, ada selamanya, seperti diuraikan
dalam Bhagavad-gita oleh Sri Krishna
sebagai sumber segala yang ada.
Kitab suci Veda, menekankan anti-kekerasaan sebagai dasar moral
vegetarianisme. “Tidak ada daging yang diperoleh tanpa menyakiti mahluk hidup,”
demikian dalam Manu-samshita, “Oleh
karena itu biarkan seseorang menjauhkan diri dari pemakaian daging.” Pada
bagian yang lain, Manu-samshita
memperingatkan, “Setelah dengan baik mempertimbangkan sumber daging yang
memuakkan dan kekejaman dalam membelenggu dan membantai mahluk hidup, biarkan
seseorang berpantang menyantap daging secara total”. Sri Khrisna juga
memerintahkan kita untuk menerapkan prinsip vegetarian, Beliau bersabda
“Persembahkanlah Aku buah, bunga, daun, air, dengan cinta bakti maka saya akan
menerimanya.” (Bg 9.26). berikutnya “PenyembahKu dibebaskan dari semua dosa
karena mereka memakan makanan yang terlebih dahulu dipersembahkan untuk yadnya.
Yang lainnya, yang menyiapkan makanan untuk kesenangan pribadi, hanya memakan
dosa.” Makanan yang dipersembahkan kepada Tuhan lebih dahulu disebut prasadam, mengkonsumsi prasadam berarti memberi makanan rohani
kepada tubuh kita. Dengan menyantap prasadam
kita akan memperoleh kemajuan rohani dan dapat mengahpuskan karma-karma
tertentu pada kehidupan masa lalu. Ahimsa
Paramo Dharmah dapat diartikan sebagai kewajiban suci yang tertinggi, agama
atau pelaksanaan agama yang paling tinggi. Hal ini ditegaskan berkali-kali di
berbagai kitab suci Veda dengan
istilah yang sama atau juga dengan istilah yang berbeda, seperti Ahimsayah pari dharmah Ahimsa laksono
dharmah-dharmah Ahimsa parama tapa, Ahimsa parama satya-satya, ini
menunjukkan bahwa agama Veda menaruh
perhatian yang sangat penting terhadap ajaran anti kekerasan.
Apalagi tentang sapi, berdasarkan sastra bahwa sapi merupakan salah satu
dari tuju ibu kita, mengapa? Sapi memberikan umat manusia susu yang melimpah
melebihi dari kebutuhan untuk anaknya sendiri. Sapi jantan bekerja untuk
mengolah tanah pertanian. Walapun diperlakukan dengan keras, dipukuli, dipecut
namun sapi tidak pernah marah. Sapi juga memberikan umat manusia kebutuhan
pokok yang disebut pancagawiya lima kebutuah yang diperlukan manusia; 1. susu.
2. yoghurt, 3. ghee atau minyak dari susu sapi, digunakan untuk upacara, 4. kencing, dapat dipakai obat, dan 5.
kotorannya, digunakan untuk upacara dan juga untuk bahan obat. Bila sapi
meninggal dengan alamiah maka ia akan mendapatkan badan dengan kualitas
brahmana kelak. Jadi bila membunuh sapi berarti telah menghambat kelahiran para
brahmana. Demikianlah keagungan sapi
dalam ajaran Veda.
Rsi Bhisma memberi nasehat
kepada Yudisthira, bahwa dengan cinta kasih kepada semua mahluk akan dibebaskan
dari rasa takut dari kesulitan yang paling berat, pikiran yang tenang dan
membunuh hewan akan menyebabkan umur lebih pendek.
Disadur dari: http://gaurangga.wordpress.com/